Lembaga keuangan diminta hati-hati biayai industri sawit
Muhammad Nazarudin Latief, JAKARTA
Roundtable on Sustainable Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Landscape Indonesia meminta lembaga-lembaga keuangan lebih selektif memilih perusahaan yang didanai dan tidak berhubungan dengan perusahaan yang masih mempraktekkan industri kelapa sawit tidak ramah lingkungan (unsustainable).
Laporan RSPO dan Landscape Indonesia menyebutkan bahwa lembaga keuangan di Indonesia tengah menghadapi berbagai risiko terkait reputasi, benturan peraturan dan risiko finansial yang semakin meningkat jika masih memberikan pendanaan pada produsen kelapa sawit yang tidak berkelanjutan.
CEO Landscape Indonesia, Agus Sari mengatakan, pemangku kepentingan pada industri kelapa sawit sedang mengambil langkah penting untuk mengelola isu keberlanjutan lingkungan.
“Ini menimbulkan risiko bagi bank-bank yang memiliki perusahaan tidak berkelanjutan dalam portofolio mereka,” ujar Agus, Selasa, di Jakarta.
Menurut Agus yang juga menyusun laporan ini, pemerintah meningkatkan aksi untuk mewujudkan industri sawit berkelanjutan, termasuk moratorium pemberian izin perkebunan sawit baru di atas hutan primer, lahan gambut dan ekspansi lanjut.
Aksi ini dilakukan Indonesia setelah kebakaran hebat yang melanda saat pembukaan lahan kelapa sawit pada 2015.
Langkah lain dilakukan oleh negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat, mereka hanya membeli produk kelapa sawit yang mempunyai sertifikat ramah lingkungan.
Selain itu, makin banyak perusahaan dalam rantai pasok kepala sawit yang berkomitmen memproduksi dan mengambil bahan baku dari produsen yang memenuhi kriteria Bebas Deforestrasi, Bebas Gambut dan Bebas Eksploitasi.
“Aturan pemerintah dan tuntutan konsumen membuat 75 persen lahan yang dialokasikan untuk perluasan kebun sawit tidak bisa digunakan lagi di masa depan,” ujar Agus.
Hal ini, kata Agus bisa menjadi risiko bagi bank yang memodali mereka, karena jatuhnya nilai agunan. Selain itu, persyarakatan ketat di pasar juga bisa membuat perusahan kehilangan kontrak dan berkurang pendapatannya.
“Perkembangan ini menyiratkan adanya peningkatan risiko nonperforming loan atau kredit bermasalah,” ujar Agus.
Selain itu, lembaga keuangan juga mempunyai masalah reputasi yang serius jika mendanai produsen kelapa sawit yang tidak ramah lingkungan. Mereka mendapatkan penilaian negatif jika nasabahnya melakukan perusakan lingkungan.